dakwatuna.com – “Assalamu’alaikum. Afwan, benarkah
ini nomor ukh Reisha?” suara di seberang sana dengan khas yang tegas,
tertangkap di telingaku.
“Wa’alaikumsalam, iya, ini… Ishan? Ada yang bisa Ana bantu?” jawabku penuh tanya heran.
“Na’am, benar ukh. Ini Ishan. Ana tidak menganggu kan? Afwan.”
“Tidak, tafadhol. Ada apa?” suaraku coba menegaskan.
“Mm…
langsung saja ukh. Afwan, ee… Ana boleh mengajukan ta’aruf dengan anti,
ukhti?” suara tegas itu dengan perlahan memberanikan diri, tepat pada
inti pembicaraan nampaknya.
“…..” kagetku bukan main, hampir lepas
rasanya hp Samsung yang kutempelkan di telinga kiriku. Seraya kemudian
menangkupkan telapak tangan kanan tepat di bagian jantungku, dan berujar
amat pelan ‘masya Allah…’.
“…ukh, afwan. Jika sekiranya Ana
lancang. Tapi, mohon kejelasan dari anti menanggapi hajat Ana ini.”
Kembali suara di seberang itu memecah keheningan, sementara degup ini
semakin kencang kurasa.
“…a-afwan, tidakkah Antum mengkomunikasikan terlebih dahulu dengan murabbi Antum?”tanyaku, meneliti.
“Mm… sesudah ada tanggapan dari anti, akan Ana sampaikan ke beliau.”
“Masya Allah akh… ” kataku lepas.
“Kenapa?
Adakah yang salah, ukh? Atau, Ana harus memberi jeda waktu untuk anti
jawab, agar benar-benar memikirkan tentang maksud Ana ini?”
“…” diam kembali, aku mengkondisikan hati.
“Ukh Reisha? Afwan.”
“Ee…
hh… semestinya, Antum mengkomunikasikan terlebih dahulu dengan murabbi
Antum. Karena memilih seseorang untuk dijadikan pendamping hidup itu
tidak main-main, akh. Hendaknya ada musyawarah agar tidak salah langkah…
afwan.” Tegasku.
“… Iya ukh, afwan Ana lancang. Lantas, bagaimana
menurut Antum terkait hajat Ana ini?” lagi, suara tegas itu berani
melempar tanya.
“….”
“Ukh?”
“Mmh… afwan akh, Ana tidak bisa”, kutundukkan kepalaku
“Kenapa? Ana salah ya, ukh?” tanyanya, polos kudengar.
“Ana,…
Ana ndak menafikkan keluhuran akhlak Antum, dari yang Ana dengar di
luar sana tentang Antum, insya Allah. Justru Ana yakin, ada akhwat yang
jauh lebih baik yang kelak lebih pantas bersanding dengan Antum.”
“…
Alasan anti, tidak jelas ukh. Afwan. Jika memang anti tidak meragukan
Ana, begitu pula Ana kepada anti, Ana mantap. Insya Allah anti-lah
akhwat yang terbaik itu… maka Ana memberanikan diri, afwan.”
“…”
“Ukh?”
“…karena, … Ana sudah dikhitbah…”
“Allahu Akbar…” dzikirnya pelan terdengar dari seberang sana.
“…” hening.
“…ya ukhti, Barakallah. Semoga anti bahagia bersamanya.”
“… amin ya Rabb, jangan berputus asa dari rahmat Allah. Ana yakin, ada akhwat yang terbaik yang menunggu Antum.”
“Na’am ukh, Insya Allah. Amin. Syukran dan … afwan. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam warohmatullah…”
Klik!
Lemas kuterduduk di sudut kamar, “Antum terlambat, akh…” lirihku…air mata akhirnya tumpah jua,..
“Allah sedang mengujiku rupanya…”selaku, pelan dalam tangis,.
“Rabbi,
aku yakin Ayash-lah ikhwan yang terbaik itu, bukan Ishan!” Kembali
kucoba menenangkan hati. Nafsuku untuk makan malam setelah shalat Isya
tadi hilang. Kemudian bergegas kembali wudhu, dan mengambil obat hatiku.
Lembaran Qur’an itu ku lahap, sesekali kuhapus kembali air yang
mengalir di pipi.
Kucoba muhasabah diri setelah lembaran-lembaran suci itu kubaca.
Dulu,
ada kesan memang kurasa. Ya, nama Ishan pernah berkelabat dalam hatiku,
kagum, dulu, ya dulu. Namun, kala itu langsung kubersihkan hati. Malu
pada Nya.
Entah mengapa dulu sempat kuberpikir, sosok ikhwan
seperti Ishan itulah dambaan imam-ku kelak. Heum… mungkin karena dulu ia
adalah mahasiswa nomor satu di kampus, ah… wahai diri, betapa duniawi
sekali!
Seorang khalifah dalam rumah tanggaku kelak tidak harus
punya pengalaman memimpin ribuan mahasiswa di kampus. Kataku menepis
kala itu dengan senyum semangat.
Betapa tak kaget diri ini,
ternyata Ishan memiliki keinginan untuk bersanding hidup denganku. Tidak
masuk akal. Dari mana ia kenal aku? Dan, siapalah aku?
Hanya
Mahasiswi yang tidak begitu suka dengan kegiatan kampus berbau politik
seperti yang dia geluti, tidak bisa ber cap-cip-cus mengkritisi pejabat
pemerintah yang kerap ia dan teman-teman dalam organisasinya itu
nikmati. Siapa aku?
Ach, mungkinkah karena aku seorang yang aktif
di lembaga dakwah? Yang bergelut dengan urusan keislaman? Berjibaku
dengan dunia keakhwatan pula? Sehingga aku terkesan… keibuan??
Memang
pernah aku sebentar berkomunikasi dengannya, dulu. Kurang lebih, enam
bulan yang lalu. Tepat ketika ketua organisasi-ku memberi mandat
menjadikan aku sebagai koordinator akhwat dalam agenda Bakti Sosial
Ramadhan, untuk kemudian bekerja sama dengan lembaga mahasiswa yang
Ishan pimpin. Tapi di adegan mana yang aku bersamanya??
Apakah ketika aku diminta akh Amin (partner kerjaku dalam agenda itu) menelepon nya pertama kali untuk sekedar bertanya,
“Saya bisa minta nomor HP yang aktifnya Menteri dalam Negeri?”, pun ia hanya jawab simple,
“Oh, begini, HP Danu hilang, coba hubungi staf ahli-nya saja, nomornya…. ”.
Sudah,
tak ada komunikasi lagi. Hanya kenangan nomor hp Ishan saja yang masih
ada dalam barisan daftar contact di Samsung-ku. Cukup, itu saja.
Jika memang itu penyebabnya, sungguh sekarang ingin rasanya kumarah dengan akh Amin, kenapa beliau kala itu begitu sibuk!
Ahh, adakah diri ini yang menggoda? Astaghfirullah…
***
“Assalamu’alaikum,
mbak Reisha… kok sendirian?” ujar Suni sambil bercipika-cipiki
denganku, setelahnya ambil posisi duduk di depanku. Staf Kemuslimahan
yang paling ceria dalam team ku di organisasi, Alhamdulillah kini ia
sudah berjilbab.
“Wa’alaikumsalam, iya nih. Nunggu temen-temen
pimpinan akhwat, sore ini mau iftor pimpinan.” Jawabku sambil melempar
senyum padanya.
“Aku temenin ya mbak? Biar gak ilang… berabe –kan kalau ketua kemuslimahan diculik. Ahhaha…” godanya.
“Heuh, ngawur!” kemudian kucubit pipi kirinya yang tembem seperti kue bakpaw, kesukaannya.
“Aduuuh… sakit tau mbak.” Sambil meringis dan mengelus-elus pipinya dengan tangan kiri.
“Iya deeeh… afwan. Makanya, jangan nakal yah! Heum…” nasihatku sambil mengelus kepalanya, bak seorang ibu pada anaknya.
“Mm… mbak, gimana kemaren?” lanjutnya kemudian.
“Gimana apanya? Kemaren? Apaan?” sahutku memborong kata tanya.
“Heuh…
pura-pura. Itu loh… kalo’ kata istilah jahiliahnya… peristiwa
‘penembakan’… hehe…” segera ia sangga dagunya dengan kedua tangan,
menatapku dengan senyum penasaran. Sementara kuputar kembali memoriku di
episode kemarin, apa yang dimaksud oleh ’bocah’ ini, kemudian berusaha
memaknai kata ‘peristiwa penembakan’.
“Mbak bener-bener gak paham, Suni… kalau ngomong yang jelas ah!”
“Euummmck… iya, iya, itu… mmm, kak Ishan, gimana?”
“Masya Allah…” sontakku, berubah wajah penuh tanya kembali, dari mana ‘bocah’ ini tau? Batinku.
“Kenapa mbak? Mbak kaget ya, kok aku bisa tau. Hehe…”
“Suni, mbak serius, ada apa ini? Suni kok bisa tau kak Ishan?”
“Lha, mbak kok gak gaul sih?! Aku kan adeknyaaaa….”
“Serius?!!”
“Yaiyalaah, masa’ yaiyadhoong… duarius deh! Gak mirip ya mbak? Kami emang beda, aku cantik, kak Ishan ganteng. Hehe”
“Suni,
mbak Reisha gak suka seperti ini. Ada apa sebenarnya? Kak Ishan dan
Suni… kemudian peristiwa penembakan yang Suni maksud.” Kulempar ekspresi
serius padanya.
“Mbak, aku takut ach. Ekspresi mbak kaya’ gitu. Marah ya…”
“Jawab saja pertanyaan mbak, Suni… ”
“Mmm…
sebenarnya sudah beberapa lama ini, aku diem-diem jadi spy kid,
menyelidiki mbak Reisha… Atas perintah kak Ishan… aku cuma niat nolong
kak Ishan aja mbak! Tapi sekarang pekerjaanku dah beres kok”. Ia
menatapku dengan wajah penuh rasa bersalah.
“Kenapa musti mbak? Dan apa saja yang sudah adek laporkan ke kak Ishan tentang mbak?” tegasku bertanya kembali.
“Sabar mbak… sabar…”
“Eeeuuhhh, Suni benar-benar buat mbak gregetan. Buru cerita!”
“Iya
mbak iya, ampuun… mm… kak Ishan itu sedang mencari isteri yang solehah,
terus aku merekomendasikan mbak. Udah deh… terus aku disuruh untuk
melaporkan apa adanya yang aku tahu dari mbak ke kak Ishan, dan
konklusinya kemaren kak Ishan katanya… ‘nembak’ mbak. Ya kan?”
Nada dering sms-ku tiba-tiba berbunyi… menjeda percakapan kami.
“Assalamu’alaikum.
Ukh, besok siang bunda mau ke asrama anti, mau kasi gaun pengantin
katanya. Oya, sekalian Ana titipkan 700 lembar undangan pernikahan kita,
ke bunda. Anti sibuk gak besok?”
sender: +628xxx Akh Ayash
“Mbak…
aku minta maaf kalau aku ternyata salah…” ujar Suni melanjutkan,
mengambil perhatianku yang terpaku pada layar hp hitam putih itu, namun
membuat rona di relung hati. Kukondisikan hati kembali.
Kuhela nafas. “Heum… sudahlah. Sekarang sudah selesai.”
“Sudah
selesai? Jadi keputusannya apa mbak? Mbak bisa jadi mbak ipar aku yah?
Yah?” tanyanya penasaran seraya melemparkan senyum.
“Tanya saja sama kakakmu!”
“Mbaaa…
kak Ishan dari kemaren gak mau ngomong kalau Suni tanya… mbak jawab
donk, biar aku gak galau.” Tanganku ia goyang-goyangkan.
“Pssstt… berisik, kalau gitu ditunggu aja sampai kakakmu bicara.”
“Mbaaaaaaa….” Rengeknya manja.
“Udah
ach, mbak mau pergi, tuh temen-temen pimpinan dah pada dateng. Dadagh…
Assalamu’alaikum…” kucubit kembali pipinya, kali ini lebih kuat.
Terdengar
jeritan suaranya, sementara aku lari menuju sekelompok akhwat berjilbab
syar’i itu, kubiarkan Suni mengaduh kesakitan sendirian di sana.
***
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan..; Itulah keberanian.
Atau
Ia mempersilakan..; Yang ini pengorbanan.